Rabu, 16 Mei 2012

Flu burung


BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Sediaan Virus Avian Influenza
Vaksin flu memiliki dua bentuk sediaan:
1.  Injeksi.
Injeksi flu mengandung vaksin yang berasal dari virus mati. Injeksi biasa diberikan pada lengan, injeksi ini tidak akan menyebabkan sakit flu, tetapi membuat tubuh mengembangkan antibodi yang dibutuhkan untuk mencegah virus influenza. Mungkin mendapat reaksi ringan akibat injeksi seperti rasa sakit pada tempat suntikan, nyeri otot ringan atau demam. Reaksi tersebut bertahan satu sampai dua hari dan lebih sering muncul pada anak-anak yang tidak pernah terpapar virus flu.
2.  Semprot hidung (nasal spray).
Diberikan melalui hidung, vaksin semprot hidung (FluMist) mengandung dosis kecil virus flu hidup yang telah dilemahkan. Vaksin tidak menyebabkan flu tetapi mendorong respon kekebalan dalam hidung dan saluran napas bagian atas kemudian di seluruh tubuh.
Kedua bentuk vaksin tersebut melindungi terhadap influenza. Namun, terdapat perbedaan yang harus dipertimbangkan sebelum memastikan untuk memilih, di antaranya:
1.  Injeksi Flu
a.       Diberikan melalui jarum suntik
b.      Mengandung virus mati, sehingga  tidak bisa menularkannya ke orang lain
c.       Disetujui untuk digunakan pada usia 6 bulan dan lebih
d.      Dapat digunakan pada orang dengan risiko tinggi komplikasi akibat flu termasuk wanita hamil, juga kondisi medis kronis
e.       Dapat disediakan oleh asuransi
2.  Semprotan Hidung
-       Diberikan melalui semprotan (spray) sehingga tidak perlu disuntik
-       Mengandung virus hidup yang dilemahkan sehingga tidak akan membuat flu tapi dalam kasus yang jarang dapat menularkannya ke orang lain.
-       Disetujui untuk orang sehat usia 5-49 tahun
-       Diberikan hanya pada orang sehat tidak hamil, bukan mereka dengan kondisi medis kronis, penekanan sistem kekebalan atau pada anak dan remaja yang menerima terapi aspirin
-       Tidak disediakan oleh asuransi
Untuk vaksin avian influenza, bentuk sediaan yang ada adalah injeksi.

2.2   Pengujian Vaksin Flu Burung
2.2.1        Uji Kontrol Vaksin
2.2.1.1 Uji HA (Haemaglutinin)
25 µl PBS dimasukkan ke dalam tiap sumuran plat mikrotiter
 

25 µl suspense virus ditambahkan ke dalam suuran pertama

Dibuat seri pengenceran dua kali suspensi virus pada sebaris sumuran tersebut, kecuali sumuran terakhir (digunakan sebagai sumuran control)

25 µl PBS ditambahkan kembali pada setiap sumuran

25 µl sel darah merah ayam 1% (v/v) ditambahkan pada setiap sumuran

Campuran dihomogenkan dengan mengetuk plat secara perlahan kemudian
didiamkan selama 60 menit pada suhu 4oC

Gambar 1: Skema Uji HA pada Vaksin Avian Influenza



Titrasi Sampel Cairan Allantoik untuk Menentukan Titer HA
1.  Masukkan 25 µl PBS kedalam tiap sumuran
2. Buat pengenceran sebesar 2 kali
Masukkan 25 µl cairan allantoik (suspensi virus) kedalam sumuran ke-1
3.Setiap sumuran mengandung cairan allantoik (dengan konsentrasi yang berbeda), kecuali sumuran kontrol
4. Masukkan 25 µl PBS kedalam tiap sumuran
5. Tambahkan 25 µl sel darah merah ayam 1% kedalam tiap sumuran
6. Baca hasilnya.

Tanda panah menunjukkan sumuran terakhir yang mengalami hemaglutinasi sempurna mengandung 1 hemaglutinasi unit dalam 25 µl. Sumuran ini mengandung pengenceran 1 dalam 64. Sehingga, cairan allantoik yang sebenarnya mengandung 64 hemaglutinasi unit dalam setiap 25 µl.

Gambar 2:
Skema Uji Titer Haemaglutinin (HA)


Prinsip Tes Hemaglutinasi
Interpretasi Hasil Uji HA
Gambar 3:  Interpretasi hasil uji HA.

o   Hasil Positif bila terbentuk lapisan tipis SDM, yang menunjukkan adanya hemaglutinin.
o   Hasil negative bila terbentuk endapan tajam SDM (sama seperti sumuran kontrol), yang menunjukkan tidak adanya hemaglutinin.
Titer HA didapatkan dari kebalikan endapan tajam pengenceran tertinggi dari suspensi virus. Agar dapat dijadikan vaksin, titer HA harus lebih dari 29.

2.2.1.2   Penentuan EID50
Prinsip
Virus avian influenza dapat menyebabkan aglutinasi sel darah merah ayam. Larutan virus yang akan dititrasi diinokulasikan pada embrio telur ayam SPF. Kriteria infektivitas adalah hemaglutinasi yang disebabkan oleh cairan alantoik dari telur terinokulasi dan / atau kematian embrio. Titer ditunjukkan dalam satuan dosis infektif 50% (EID50).

Bahan-bahan
a.       Suspensi virus avian influenza yang akan dititrasi
b.      Dapar salin fisiologis (PBS) pH 7,15
c.       Suspensi sel darah merah ayam 2%
d.      Embrio telur ayam SPF usia 9 atau 10 hari

Skema Uji EID50
Dibuat seri pengenceran 10x suspensi virus

Diinokulasikan 0,2 ml ke dalam 4 telur SPF

Telur diinkubasi pada suhu 37oC selama 96 jam
                                                                             Embrio yang mati dalam 24 jam
                                                                             pertama dibuang
Telur-telur ditempatkan pada suhu ±4oC dalam ruangan lembab
Untuk setidaknya selama 1 jam

Semua telur diuji adanya hemaglutinin (1 tetes cairan alantoik + 1 tetes
suspensi SDM ayam 2%)

Gambar 4: Skema Uji EID50

Titer infektif dihitung dengan menggunakan metode Spearman-Karber :
EID50 = x +  d –
Keterangan :
x               = pengenceran tertinggi yang menyebabkan semua telur tidak terinfeksi
                     (dinyatakan sebagai kebalikannya atau nilai positif)
d           =      factor pengenceran (pengenceran 10x, factor pengencerannya adalah 1)
∑r          =      total jumlah telur yang tidak terinfeksi (pada jangkauan 0-100%
                     terinfeksi)
n            =      jumlah telur pada setiap pengenceran

Pengenceran
Hasil Tes HA pada Telur ke-
Jumlah Telur yang Terinfeksi
Jumlah Telur yang Tidak Terinfeksi
1
2
3
4
10-1
+
+
+
+
4

10-2
+
+
+
+
4

10-3
+
+
+
+
4

10-4
+
+
+
+
4

10-5
+
+
+
+
4
0
10-6
+
+
+
-
3
1
10-7
+
+
-
-
2
2
10-8
+
-
-
-
1
3
10-9
-
-
-
-
0
4
10-10
-
-
-
-
0



EID50 = x +  

TTabel 1: Data Hasil Uji EID50
EID50 = x +  d –
x   =        9
d  =        1
∑r =        4+3+2+1+0
n   =        4
Maka, EID50 = 9 +  x 1 –
                         = 9 + 0,5
                         = 9,5 – 2,5 = 7,0
Jadi, kandungan virus = 107,0 EID 50%/0,2 ml

2.2.1.3  Uji Keamanan
                                Gambar 5: Skema Uji Keamanan
Hasil dapat diterima bila setelah 2 minggu semua ayam hidup dan tidak lebih dari seekor ayam pun menunjukan gejala reaksi yang tidak  biasa

2.2.1.4  Uji Immunogenisitas
1)       60 ayam SPF umur 10 hari dibagi dalam 2 grup.
i.     Grup I diinokulasi dengan 0,25 ml vaksin, sedangkan
ii.    Grup II sebagai kontrol
2)       Setelah 25 hari semua ayam ditantang dengan virus AIV-H5N2 via injeksi. Pemerian preparat histopat dilakukan pada hari ke 3,6,10, dan 20 hari setelah ditantang.
3)       Hasil menunjukan bahwa kelompok control menampakan perubahan berupa encephalitis, kongesti, pendarahan, dan nekrosis pada paru-paru, otot jantung, pancreas, hati, dan ginjal.
Kelompok yang divaksinasi tidak menunjukan gejala klinis terkecuali sedikit perubahan pada organ dan jaringan. Jadi ada perbedaan yang nyata antara kedua grup tersebut diatas.
2.2.1.5  Uji Salmonella
Gambar 6: Skema Uji Salmonella
Interpretasi hasil:
a.       Bila tidak ada pertumbuhan dari Salmonella, agar plat harus diinkubasi kembali selama 18 sampai 24 jam dan diuji kembali.
b.       Bila terdapat pertumbuhan salmonella dilakukan kultur lebih lanjut pada media diferensial yang cocok untuk identifikasi positif. Bila terdapat salmonella, sampel tidak memenuhi syarat.

2.2.1.6   Tes Inaktivasi
Prinsip: Adanya virus (dari telur berembrio) yang diinokulasikan kedalam cairan alantoik akan menyebabkan pertumbuhan embrio yang abnormal, kematian atau produksi hemaglutinin dalam cairan alantoik. Tidak adanya efek tersebut menunjukan bahwa suspensi virus yang diuji telah inaktif.
Material:
  1. Antigen virus yang diuji
  2. Virus baku yang tidak diinaktivasi
  3. Telur ayam SPF berembrio usia 9 sampai 11 hari
  4. Suspensi sel darah merah ayam (hanya untuk uji virus yang menghemaglutinasi)

Prosedur:
  1. Inokulasi 10 telur dengan 0,2 ml sediaan uji per telur secara intraalantoik
  2. Inokulasi 5 telur dengan antigen (virus) baku, dengan perlakuan yang sama
  3. Inkubasi telur selama 5-7 hari pada suhu 380 C. amati telur dicahaya untuk mendeteksi embrio yang mati pada 24 jam pertama. Keluarkan embrio yangmengalami kematian yang dianggap sebagai kematian nonspesifik.
  4. Tes HA dilakukan terhadap cairan alantoik dalam telur yang mati dalam 24 jam pertama, dengan menggunakan sel darah merah ayam.
  5. Sesudah perbanyakan pertama, semua embrio diperiksa: tidak ada pertumbuhan abnormal atau kematian yang diakibatkan oleh suspensi virus. Panen cairan alantoik dari telur yang mati setelah 24 jam dan cairan alantoik telur hidup. Lakukan secara terpisah.
  6. Inokulasi 10telur dengan 0,2 ml cairan alantoik telur yang mati. Lanjutkan perlakuan yang sama dengan cairan alantoik telur hidup.
  7. Inkubasikan telur selama 5-7 hari pada 38oC.
  8. Periksa semua embrio setelah perbanyakan kedua: tidak ada pertumbuhan abnormal atau kematian yang disebabkan oleh suspense virus. Untuk virus yang menghemaglutinasi, uji untuk hemaglutinin dalam cairan alantoik dilakukan dengan menggunakan sel darah merah ayam.

Uji memuaskan apabila telur yang diinokulasi dengan sediaan uji:
1)      Kurang dari 20% telur mati pada setiap tahap.
2)      Tidak ada pertumbuhan embrio yang abnormal atau kematian yang disebabkan oleh suspense virus yang diuji setelah perbanyakan pertama dan kedua.
3)      Untuk virus yang menghemaglutinasi, tidak ada hemaglutinasi yang teramati.

2.2.1.7  Deteksi Residu Formalin
Formaldehid bebas tidak lebih dari 0,05%, jika ditetapkan dengan cara sebagai berikut:
a.       Ambil 1 ml sediaan uji, tambahkan 4 ml air dan 5 ml asetilaseton LP. Hangatkan dalam penanas air pada suhu 40oC selama 40 menit. Warna yang terjadi tidak lebih kuat dari warna larutan pembanding yang dibuat dengan cara dan dalam waktu yang sama, yakni denganmenggunakan 1 ml larutan yang menggunakan formaldehid (CH2O 0,05%)  sebagai pengganti larutan uji.
b.       Pada saat membandingkan, amati tabung dalam posisi vertical dari atas.

2.2.1.8  Uji Sterilitas
Cairan yang diperiksa dimasukan kedalam tabung reaksi dengan tutup kapas. Sampel kemudian dibagi 5:
1)         Bagian pertama dimasukan kedalam plat agar darah, didiamkan selama 2 minggu pada suhu 36-37oC, pengamatannya adalah jika ada bakteri maka termasuk jenis gram positif atau gram negative.
2)         Bagian kedua dimasukan kedalam medium semisolid dan didiamkan selama 2 minggu pada suhu 36-37oC, jika ada pertumbuhan mikroba pada medium ini diamati apakah mikroba termasuk jenis termasuk jenis aerob atau anaerob.
3)         Bagian ketiga dimasukan kedalam medium brewer dan didiamkan selama 2 minggu pada suhu 36-37oC, jika ada pertumbuhan mikroba pada medium berarti mikroba ini termasuk jenis anaerob.
4)         Bagian keempat dimasukkan kedalam medium sabouraud (padat) dan didiamkan selama 2 minggu pada suhu 15-22oC, jika ada pertumbuhan mikroba pada medium ini, maka mikroba ini termasuk jenis kapang.
5)         Bagian kelima dimasukan kedalam medium Trypticase, jika ada pertumbuhan mikroba pada medium ini maka microba ini termasuk jenis kapang.

2.2.1.9  Uji Stabilitas
Lama pengujian adalah 18 bulan, Suhu pengujian : 27oC, Frekuensi sampling : 3 bulan, Syarat: minimal 80% ayam uji mempunyai titer HI ≥16
Prosedur :
a.       Vaksin sampel disuntikkan kepada 10 ayam dalam 4 minggu
b.       Serum diambil dan diuji titer HI-nya

Kesimpulan uji stabilitas:
Dari data pengamatan diperoleh hasil bahwa potensi vaksin dapat dipertahankan sampai 15 bulan (minimal 80% ayam uji mempunyai titer HI ≥16). Oleh karena itu, waktu kadaluarsa vaksin yang dicantumkan pada kemasan adalah selama 12 bulan

2.2.2        Uji Serologi
2.2.2.1  Uji Inhibisi Hemaglutinasi (HI)
Titrasi untuk menentukan Titer HI
Tambahkan 25µl serum ke dalam sumuran terakhir (control)
75µL
50 µL
25 µL
75µL
50 µL
25 µL
75µL
50 µL
25 µL
75µL
50 µL
25 µL
75µL
50 µL
25 µL
75µL
50 µL
25 µL
Tanda Panah menunjukkan sumuran dimana pengencer tertinggi dari serum . Sumuran ini mengandung serum dalam perbandingan 1:16 sehingga serum memiliki titer antibody HI 16 atau 24


Gambar 7: Skema Uji Inhibisi Hemaglutinasi
Catat level antibody pada setiap serum, yang biasanya dinyatakan dalam log2 atau log indeksnya saja. Misalnya: titer 26 akan dicatat sebagai 6 saja.
·           Pada sumur yang terdapat antibody, akan terjadi inhibisi hemaglutinasi. Sel darah merah akan ada didalam sumur berbentuk bulatan.
·           Pada sumur yang tidak terdapat andibodi akan terjadi aglutinasi pada sel darah merahnya.
·           Titer HI dianggap positif bila terjadi inhibisi pada larutan serum 1/16 (24 bila diekspresikan sebagai timbal balik) atau lebih terhadap 4 HAU (hemaglutinating agent unit) dari antigen.





Gambar 8: Anatomi telur berembrio berumur 10 hari.






Gambar 9: Uji Inhibisi Hemaglutinasi

Gambar 10:  Memonitor kondisi telur dengan penyinaran

2.  Embrio yang mati pada awal. Embrio terlihat kecil dan tidak bergerak. Pembuluh darah telah pecah

1. Telur Infertil
3. Embrio yang mati pada akhir. Embrio terlihat tidak bergerak. Pembuluh darahnya mulai pecah.
4. Embrio yang dapat bertahan hidup, dengan pembuluh darah yang kuat dan sehat, dan adanya pergerakan embrio.


Gambar 11: Telur berembrio yang terlihat ketika penyinaran

2.2.3        Metode Uji
2.2.3.1 Embryo Infectious Dose ( EID50 )
Prosedur Kerja
Bahan dan Alat
                        1. vaksin virus aktif Lasota
                        2. Larutan fisiologis Hank’s
                        3. Antibiotik : Penisillin, Streptomisin
                        4. Telur embryo tertunas umur 9 hari, sebanyak 35 butir
                        5. Tabung reaksi steril bertutup
                        6. Alat suntik 1ml
                        7. Alat teropong telur
                        8. kapas, alkohol, kolodium
                        9. pipet 1 dan 5 ml
Cara Kerja
1.      Siapkan larutan inokulum, yakni dengan menambahkan antibiotik penisillin sebanyak 10.000 IU dan larutan streptomisin sebanyak 10.000 µg untuk setiap 1ml larutan Hank’s
2.      Siapkan tabung reaksi steril sebanyak 10 buah, beri nomor 1 s/d 10
3.      Pipet larutan inokulum masing-masing 1.8ml dari tabung 1 s/d 10
4.      Pipet 0.2 ml vaksin virus aktif Lasota, masukkan pada tabung pertama
5.      Lakukan homogenisasi dengan menggunakan alat mixer
6.      Dengan menggunakan pipet 1ml pindahkan 0.2 ml dari tabung pertama ke tabung kedua ( ikuti metode nomor 5)
7.      Pindahkan 0.2 ml dari tabung kedua ke tabung ketiga. Lakukan hal yang sama sampai tabung nomor 9. Tabung nomor 10 adalah kontrol. Terjadi pengenceran kelipatan 10, dapat dituliskan berturut-turut dari tabung pertama pengenceran sebagai berikut : 10-1 , 10-2 , 10-3 , 10-4 ,dst
8.      Siapkan telur embryo tertunas untuk inokulasi
9.      Lakukan penyuntikan ke dalam cairan alantoik dengan dosis 0.1 ml ke dalam masing-masing telur, sebanyak 5 butir telur, dimulai dari pengenceran 10-9 , 10-8, sampai pengenceran 10-4
10.  Telur kemudian dieramkan dalam incubator dengan temperature 370 C. Lakukan pengamatan setiap hari sampai hari keempat. Pada hari kelima semua telur dimasukkan ke dalam lemari es 40C agar embrio mati.
11.  Lakukan uji aglutinasi cepat dari cairan alantois setiap telur pada gelas objek. Catat dan hitung hasilnya.

Gambar 12: Skema kerja penentuan EID50

Perhitungan Dengan Menggunakan Persamaan Garis
Log 10
Hasil Individu
Hasil Kumulatif
Rasio Persentase
Positif
Negatif
Negatif
Positif
Total
Positif
Persen
-4
5
0
9
0
21
21/21
100
-5
5
0
4
2
16
16/16
100
-6
5
0
1
6
11
11/11
100
-7
4
1
0
11
7
6/7
86
-8
2
3
0
16
6
2/6
33
-9
0
5
0
21
9
0/9
0

Tabel 2. Contoh perhitungan EID50 menggunakan persamaan garis

y= a+bx
y= % terinfeksi
x= log konsentrasi
y= 319,5 + 35,3 x ; r=0,979
50 = 319,5 + 35,3 x
x= -7,64
Log konsentrasi = -7,64
Maka, EID50 = 107,64 EID50 / 0,2 ml atau 5x107,64 EID50 / ml

2.2.3.2  Tissue Culture Infectious Dose ( TCID 50 )
 Cara Kerja
Isolasi Virus Poliomielitis
1/10 suspensi feses dicampur dengan BSS dengan pengaduk gelas sampai potongan kecil larut
Sentrifugasi 3000 rpm selama 15-20 menit
Ambil supernatan  jernih bebas bakteri ( tambahkan antibiotik )
Masukkan 150.000 sel ( HeLa atau ginjal monyet ) / 1ml media ke dalam botol roux
Inkubasi 370 C selama 1 jam
Media dipindahkan dan diganti dengan media yang baru
Inkubasi 370 C selama 1 jam
Diamati perubahan sitopatogenik ( bentuk, warna, ukuran, pertumbuhan, dll )

Titrasi Virus

  
masing-masing konsentrasi virus dimasukkan pada 12 tabung roux, kemudian masing-masing ditambahkan 150.000 sel
  
      Inkubasi 370 C selama 1 jam
                                                                          
Media dikeluarkan dari sel dan masukkan media baru
  
Inkubasi 370 C selama beberapa hari
  
Kultur diperiksa setelah beberapa hari apakah terjadi infeksi (dilihat dari perubahan sitopatogeniknya)
  
TCID 50 terletak pada konsentrasi kultur yang setengahnya terinfeksi virus

Perhitungan Dengan Menggunakan Persamaan Garis
Log konsentrasi
Pengenceran
Kultur
terinfeksi
Kultur tidak
terinfeksi
Jumlah
terinfeksi
Jumlah tidak
terinfeksi
Fraksi
terinfeksi
%
terinfeksi
-5
105
12
0
48
0
48/48
100
-6
106
12
0
36
0
36/36
100
-7
107
10
2
24
2
24/26
92,5
-8
108
8
4
14
6
14/20
70
-9
109
4
8
6
14
6/20
30
-10
1010
2
10
2
24
2/26
7,69
-11
1011
0
12
0
36
0/36
0

Tabel 3: Contoh perhitungan TCID 50 menggunakan persamaan garis

Didapatkan persamaan garis y= 242,96 + 22,69 x
TCID 50 yaitu 50% yang terinfeksi , jadi y=50, maka x= -8,5
TCID 50 = 108,5 TCID 50 / 0,1 ml = 109,5 TCID 50 / ml

2.2.3.3 Cell Culture Infectious Dose ( CCID50 )
Cara Kerja
Masing-masing konsentrasi virus dimasukkan pada 12 sumuran, ng-masing ditambahkan 100.000 sel  ( tiap konsentrasi memiliki 2 buah kontrol )
Inkubasi 370 C selama 1 jam
Media dikeluarkan dari sel dan masukkan media baru
Inkubasi 370 C selama beberapa hari
Kultur diperiksa setelah beberapa hari apakah terjadi infeksi (dilihat dari perubahan sitopatogeniknya)
CCID50 terletak pada konsentrasi kultur yang setengahnya terinfeksi virus

Perhitungan Dengan Menggunakan Persamaan Garis
Log
Konsentrasi
(x)
Pengenceran
Hasil Individu
Hasil Kumulatif
Rasio Persentase
positif
negatif
positif
negatif
total
positif
Persen
(y)
-3
103
10
0
38
0
38
38/38
100
-4
104
9
1
28
1
29
28/29
96,5
-5
105
8
2
19
3
22
19/22
86,4
-6
106
7
3
11
6
17
11/17
64,7
-7
107
4
6
4
12
16
4/16
25
-8
108
0
10
0
22
22
0/22
0

x= log konsentrasi
y= % terinfeksi

Persamaan garis:  y=177,78 + 21,03 x  ;         r= 0,95
CCID50 = terinfeksi 50%  à y=50
50 = 177,78 + 21,03 x
x = -6,07

CCID50 = 106,07 CCID50 / 0,1 ml = 107,07 CCID50 / ml

2.2.3.4  Protection Dose ( PD50 )
Penetapan nilai PD50 dapat digunakan untuk menetapkan potensi dari suatu vaksin yang dibuat. Prosedur yang dilakukan pada uji PD50 memiliki kemiripan dalam hal prinsip dengan penetapan angka KHM ( Kadar Hambat Minimum) suatu antibiotik.  Dalam hal ini, PD50 digunakan sebagai nilai pada pengenceran berapa suatu vaksin dapat menghambat pertumbuhan dari virus.
1.      Namun ada hal yang menyeba
2.      Vaksin untuk flu burung ini perlu diuji kontrol demi keamanan penderitanya, diantara terdiri dari uji haemoglutin dan uji serologi.
3.      Uji Haemoglutin terdiri dari penentuan EID50, Uji Keamanan, Uji Immunogenitas, Uji Patogenitas virus, Uji myloplasma, Uji Salmonella, tes inaktivasi, deteksi residu formalin, uji sterilitas, dan uji stabilitas. Sedangkan Uji serologi terdiri dari Uji HI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar