BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Sediaan Virus Avian Influenza
Vaksin
flu memiliki dua bentuk sediaan:
1. Injeksi.
Injeksi flu mengandung vaksin yang berasal
dari virus mati. Injeksi biasa diberikan pada lengan, injeksi ini tidak akan
menyebabkan sakit flu, tetapi membuat tubuh mengembangkan antibodi yang dibutuhkan untuk
mencegah virus influenza. Mungkin mendapat reaksi ringan akibat injeksi seperti rasa sakit
pada tempat suntikan, nyeri otot ringan atau demam. Reaksi tersebut bertahan
satu sampai dua hari dan lebih sering muncul pada anak-anak yang tidak pernah
terpapar virus flu.
2. Semprot hidung (nasal
spray).
Diberikan melalui hidung, vaksin semprot
hidung (FluMist) mengandung dosis kecil virus flu hidup yang telah dilemahkan.
Vaksin tidak menyebabkan flu tetapi mendorong respon kekebalan dalam hidung dan
saluran napas bagian atas kemudian di seluruh tubuh.
Kedua
bentuk vaksin tersebut melindungi terhadap influenza. Namun, terdapat perbedaan
yang harus dipertimbangkan sebelum memastikan untuk memilih, di antaranya:
1. Injeksi Flu
a.
Diberikan melalui jarum suntik
b.
Mengandung virus mati, sehingga tidak
bisa menularkannya ke orang lain
c.
Disetujui untuk digunakan pada usia 6 bulan dan lebih
d.
Dapat digunakan pada orang dengan risiko tinggi komplikasi akibat
flu termasuk wanita hamil, juga kondisi medis kronis
e.
Dapat disediakan oleh asuransi
2. Semprotan
Hidung
- Diberikan melalui semprotan (spray) sehingga tidak perlu disuntik
- Mengandung virus hidup yang dilemahkan
sehingga tidak akan membuat flu tapi dalam kasus yang jarang dapat
menularkannya ke orang lain.
- Disetujui untuk orang sehat usia 5-49 tahun
- Diberikan hanya pada orang sehat tidak hamil,
bukan mereka dengan kondisi medis kronis, penekanan sistem kekebalan atau pada
anak dan remaja yang menerima terapi aspirin
- Tidak disediakan oleh asuransi
Untuk vaksin avian
influenza, bentuk sediaan yang ada adalah injeksi.
2.2
Pengujian
Vaksin Flu Burung
2.2.1
Uji Kontrol Vaksin
2.2.1.1 Uji HA (Haemaglutinin)
2.2.1.1 Uji HA (Haemaglutinin)
25
µl PBS dimasukkan ke dalam tiap sumuran plat mikrotiter
25
µl suspense virus ditambahkan ke dalam suuran pertama
Dibuat seri
pengenceran dua kali suspensi virus pada sebaris sumuran tersebut, kecuali
sumuran terakhir (digunakan sebagai sumuran control)
25 µl PBS
ditambahkan kembali pada setiap sumuran
25 µl sel darah
merah ayam 1% (v/v) ditambahkan pada setiap sumuran
Campuran
dihomogenkan dengan mengetuk plat secara perlahan kemudian
didiamkan
selama 60 menit pada suhu 4oC
Gambar 1: Skema Uji HA pada Vaksin Avian Influenza
Titrasi Sampel
Cairan Allantoik untuk Menentukan Titer HA
1. Masukkan 25 µl PBS kedalam tiap sumuran
|
2. Buat
pengenceran sebesar 2 kali
|
Masukkan 25 µl cairan allantoik
(suspensi virus) kedalam sumuran ke-1
|
3.Setiap sumuran
mengandung cairan allantoik (dengan konsentrasi yang berbeda), kecuali
sumuran kontrol
|
4. Masukkan 25
µl PBS kedalam tiap sumuran
|
5. Tambahkan 25
µl sel darah merah ayam 1% kedalam tiap sumuran
|
6.
Baca hasilnya.
|
Tanda
panah menunjukkan sumuran terakhir yang mengalami hemaglutinasi sempurna
mengandung 1 hemaglutinasi unit dalam 25 µl. Sumuran ini mengandung pengenceran
1 dalam 64. Sehingga, cairan allantoik yang sebenarnya mengandung 64 hemaglutinasi
unit dalam setiap 25 µl.
Gambar 2: Skema Uji Titer Haemaglutinin (HA)
Prinsip Tes Hemaglutinasi
Interpretasi Hasil Uji HA
Gambar 3: Interpretasi hasil uji HA.
o Hasil Positif bila terbentuk lapisan
tipis SDM, yang menunjukkan adanya hemaglutinin.
o Hasil negative bila terbentuk endapan
tajam SDM (sama seperti sumuran kontrol), yang menunjukkan tidak adanya
hemaglutinin.
Titer HA didapatkan dari kebalikan
endapan tajam pengenceran tertinggi dari suspensi virus. Agar dapat dijadikan
vaksin, titer HA harus lebih dari 29.
2.2.1.2
Penentuan EID50
Prinsip
Virus
avian influenza dapat menyebabkan aglutinasi sel darah merah ayam. Larutan
virus yang akan dititrasi diinokulasikan pada embrio telur ayam SPF. Kriteria
infektivitas adalah hemaglutinasi yang disebabkan oleh cairan alantoik dari
telur terinokulasi dan / atau kematian embrio. Titer ditunjukkan dalam satuan
dosis infektif 50% (EID50).
Bahan-bahan
a. Suspensi virus avian influenza yang
akan dititrasi
b. Dapar salin fisiologis (PBS) pH 7,15
c. Suspensi sel darah merah ayam 2%
d. Embrio telur ayam SPF usia 9 atau 10
hari
Skema Uji EID50
Dibuat seri
pengenceran 10x suspensi virus
Diinokulasikan 0,2
ml ke dalam 4 telur SPF
Telur
diinkubasi pada suhu 37oC selama 96 jam
Embrio
yang mati dalam 24 jam
pertama
dibuang
Telur-telur
ditempatkan pada suhu ±4oC dalam ruangan lembab
Untuk setidaknya
selama 1 jam
Semua
telur diuji adanya hemaglutinin (1 tetes cairan alantoik + 1 tetes
suspensi
SDM ayam 2%)
Gambar
4: Skema Uji EID50
Titer infektif dihitung dengan
menggunakan metode Spearman-Karber :
EID50 = x +
d –
Keterangan
:
x =
pengenceran tertinggi yang menyebabkan semua telur tidak terinfeksi
(dinyatakan
sebagai kebalikannya atau nilai positif)
d = factor pengenceran (pengenceran 10x,
factor pengencerannya adalah 1)
∑r = total jumlah telur yang tidak terinfeksi
(pada jangkauan 0-100%
terinfeksi)
n = jumlah telur pada setiap pengenceran
Pengenceran
|
Hasil Tes HA pada Telur ke-
|
Jumlah Telur yang Terinfeksi
|
Jumlah Telur yang Tidak Terinfeksi
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
|||
10-1
|
+
|
+
|
+
|
+
|
4
|
|
10-2
|
+
|
+
|
+
|
+
|
4
|
|
10-3
|
+
|
+
|
+
|
+
|
4
|
|
10-4
|
+
|
+
|
+
|
+
|
4
|
|
10-5
|
+
|
+
|
+
|
+
|
4
|
0
|
10-6
|
+
|
+
|
+
|
-
|
3
|
1
|
10-7
|
+
|
+
|
-
|
-
|
2
|
2
|
10-8
|
+
|
-
|
-
|
-
|
1
|
3
|
10-9
|
-
|
-
|
-
|
-
|
0
|
4
|
10-10
|
-
|
-
|
-
|
-
|
0
|
|
EID50 = x +
TTabel 1: Data Hasil Uji EID50
EID50 = x +
d –
x = 9
d = 1
∑r = 4+3+2+1+0
n = 4
Maka, EID50 = 9 +
x 1 –
=
9 + 0,5 –
= 9,5 – 2,5 = 7,0
Jadi, kandungan
virus = 107,0 EID 50%/0,2 ml
2.2.1.3 Uji
Keamanan
Gambar 5: Skema Uji Keamanan
Hasil dapat diterima bila setelah 2 minggu semua ayam hidup
dan tidak lebih dari seekor ayam pun menunjukan gejala reaksi yang tidak
biasa
2.2.1.4
Uji Immunogenisitas
1)
60 ayam SPF umur 10
hari dibagi dalam 2 grup.
i.
Grup I diinokulasi
dengan 0,25 ml vaksin, sedangkan
ii.
Grup II sebagai kontrol
2)
Setelah 25 hari
semua ayam ditantang dengan virus AIV-H5N2 via injeksi. Pemerian preparat
histopat dilakukan pada hari ke 3,6,10, dan 20 hari setelah ditantang.
3)
Hasil menunjukan
bahwa kelompok control menampakan perubahan berupa encephalitis, kongesti,
pendarahan, dan nekrosis pada paru-paru, otot jantung, pancreas, hati, dan
ginjal.
Kelompok
yang divaksinasi tidak menunjukan gejala klinis terkecuali sedikit perubahan
pada organ dan jaringan. Jadi ada perbedaan yang nyata antara kedua grup
tersebut diatas.
2.2.1.5 Uji
Salmonella
Gambar 6: Skema Uji Salmonella
Interpretasi hasil:
a. Bila
tidak ada pertumbuhan dari Salmonella, agar plat harus diinkubasi kembali
selama 18 sampai 24 jam dan diuji kembali.
b. Bila
terdapat pertumbuhan salmonella dilakukan kultur lebih lanjut pada media
diferensial yang cocok untuk identifikasi positif. Bila terdapat salmonella,
sampel tidak memenuhi syarat.
2.2.1.6
Tes Inaktivasi
Prinsip:
Adanya virus (dari telur berembrio) yang diinokulasikan kedalam cairan alantoik
akan menyebabkan pertumbuhan embrio yang abnormal, kematian atau produksi
hemaglutinin dalam cairan alantoik. Tidak adanya efek tersebut menunjukan bahwa
suspensi virus yang diuji telah inaktif.
Material:
- Antigen virus yang diuji
- Virus baku yang tidak diinaktivasi
- Telur ayam SPF berembrio usia 9 sampai 11 hari
- Suspensi sel darah merah ayam (hanya untuk uji virus yang menghemaglutinasi)
Prosedur:
- Inokulasi 10 telur dengan 0,2 ml sediaan uji per telur secara intraalantoik
- Inokulasi 5 telur dengan antigen (virus) baku, dengan perlakuan yang sama
- Inkubasi telur selama 5-7 hari pada suhu 380 C. amati telur dicahaya untuk mendeteksi embrio yang mati pada 24 jam pertama. Keluarkan embrio yangmengalami kematian yang dianggap sebagai kematian nonspesifik.
- Tes HA dilakukan terhadap cairan alantoik dalam telur yang mati dalam 24 jam pertama, dengan menggunakan sel darah merah ayam.
- Sesudah perbanyakan pertama, semua embrio diperiksa: tidak ada pertumbuhan abnormal atau kematian yang diakibatkan oleh suspensi virus. Panen cairan alantoik dari telur yang mati setelah 24 jam dan cairan alantoik telur hidup. Lakukan secara terpisah.
- Inokulasi 10telur dengan 0,2 ml cairan alantoik telur yang mati. Lanjutkan perlakuan yang sama dengan cairan alantoik telur hidup.
- Inkubasikan telur selama 5-7 hari pada 38oC.
- Periksa semua embrio setelah perbanyakan kedua: tidak ada pertumbuhan abnormal atau kematian yang disebabkan oleh suspense virus. Untuk virus yang menghemaglutinasi, uji untuk hemaglutinin dalam cairan alantoik dilakukan dengan menggunakan sel darah merah ayam.
Uji memuaskan apabila telur yang diinokulasi dengan sediaan
uji:
1)
Kurang dari 20%
telur mati pada setiap tahap.
2)
Tidak ada
pertumbuhan embrio yang abnormal atau kematian yang disebabkan oleh suspense
virus yang diuji setelah perbanyakan pertama dan kedua.
3)
Untuk virus yang
menghemaglutinasi, tidak ada hemaglutinasi yang teramati.
2.2.1.7 Deteksi
Residu Formalin
Formaldehid bebas tidak lebih dari
0,05%, jika ditetapkan dengan cara sebagai berikut:
a.
Ambil 1 ml sediaan
uji, tambahkan 4 ml air dan 5 ml asetilaseton LP. Hangatkan dalam penanas air
pada suhu 40oC selama 40 menit. Warna yang terjadi tidak lebih kuat
dari warna larutan pembanding yang dibuat dengan cara dan dalam waktu yang
sama, yakni denganmenggunakan 1 ml larutan yang menggunakan formaldehid (CH2O
0,05%) sebagai pengganti larutan uji.
b.
Pada saat
membandingkan, amati tabung dalam posisi vertical dari atas.
2.2.1.8
Uji Sterilitas
Cairan yang diperiksa dimasukan
kedalam tabung reaksi dengan tutup kapas. Sampel kemudian dibagi 5:
1)
Bagian pertama
dimasukan kedalam plat agar darah, didiamkan selama 2 minggu pada suhu 36-37oC,
pengamatannya adalah jika ada bakteri maka termasuk jenis gram positif atau
gram negative.
2)
Bagian kedua
dimasukan kedalam medium semisolid dan didiamkan selama 2 minggu pada suhu
36-37oC, jika ada pertumbuhan mikroba pada medium ini diamati apakah
mikroba termasuk jenis termasuk jenis aerob atau anaerob.
3)
Bagian ketiga
dimasukan kedalam medium brewer dan didiamkan selama 2 minggu pada suhu 36-37oC,
jika ada pertumbuhan mikroba pada medium berarti mikroba ini termasuk jenis
anaerob.
4)
Bagian keempat
dimasukkan kedalam medium sabouraud (padat) dan didiamkan selama 2 minggu pada
suhu 15-22oC, jika ada pertumbuhan mikroba pada medium ini, maka mikroba
ini termasuk jenis kapang.
5)
Bagian kelima
dimasukan kedalam medium Trypticase, jika ada pertumbuhan mikroba pada medium
ini maka microba ini termasuk jenis kapang.
2.2.1.9
Uji Stabilitas
Lama pengujian adalah 18 bulan, Suhu
pengujian : 27oC, Frekuensi sampling : 3 bulan, Syarat: minimal 80%
ayam uji mempunyai titer HI ≥16
Prosedur :
a.
Vaksin sampel disuntikkan
kepada 10 ayam dalam 4 minggu
b.
Serum diambil dan
diuji titer HI-nya
Kesimpulan uji stabilitas:
Dari data pengamatan diperoleh hasil
bahwa potensi vaksin dapat dipertahankan sampai 15 bulan (minimal 80% ayam uji
mempunyai titer HI ≥16). Oleh karena itu, waktu kadaluarsa vaksin yang
dicantumkan pada kemasan adalah selama 12 bulan
2.2.2
Uji Serologi
2.2.2.1 Uji
Inhibisi Hemaglutinasi (HI)
Titrasi untuk menentukan Titer HI
Tambahkan 25µl serum ke
dalam sumuran terakhir (control)
|
75µL
50 µL
25 µL
|
75µL
50 µL
25 µL
|
75µL
50 µL
25 µL
|
75µL
50 µL
25 µL
|
75µL
50 µL
25 µL
|
75µL
50 µL
25 µL
|
Tanda Panah menunjukkan sumuran
dimana pengencer tertinggi dari serum . Sumuran ini mengandung serum dalam
perbandingan 1:16 sehingga serum memiliki titer antibody HI 16 atau 24
|
Gambar 7: Skema Uji Inhibisi Hemaglutinasi
Catat level antibody pada setiap
serum, yang biasanya dinyatakan dalam log2 atau log indeksnya saja. Misalnya:
titer 26 akan dicatat sebagai 6 saja.
·
Pada sumur yang
terdapat antibody, akan terjadi inhibisi hemaglutinasi. Sel darah merah akan
ada didalam sumur berbentuk bulatan.
·
Pada sumur yang
tidak terdapat andibodi akan terjadi aglutinasi pada sel darah merahnya.
·
Titer HI dianggap
positif bila terjadi inhibisi pada larutan serum 1/16 (24 bila diekspresikan
sebagai timbal balik) atau lebih terhadap 4 HAU (hemaglutinating agent unit)
dari antigen.
Gambar 8: Anatomi telur berembrio berumur 10
hari.
Gambar 9: Uji Inhibisi Hemaglutinasi
Gambar 10: Memonitor kondisi
telur dengan penyinaran
2. Embrio yang mati pada awal. Embrio
terlihat kecil dan tidak bergerak. Pembuluh darah telah pecah
|
1.
Telur Infertil
|
3. Embrio yang
mati pada akhir. Embrio terlihat tidak bergerak. Pembuluh darahnya mulai
pecah.
|
4. Embrio yang
dapat bertahan hidup, dengan pembuluh darah yang kuat dan sehat, dan adanya
pergerakan embrio.
|
Gambar 11:
Telur
berembrio yang terlihat ketika penyinaran
2.2.3
Metode
Uji
2.2.3.1 Embryo
Infectious Dose ( EID50 )
Prosedur Kerja
Bahan
dan Alat
1.
vaksin virus aktif Lasota
2.
Larutan fisiologis Hank’s
3.
Antibiotik : Penisillin, Streptomisin
4.
Telur embryo tertunas umur 9 hari, sebanyak 35 butir
5.
Tabung reaksi steril bertutup
6.
Alat suntik 1ml
7.
Alat teropong telur
8.
kapas, alkohol, kolodium
9.
pipet 1 dan 5 ml
Cara
Kerja
1. Siapkan
larutan inokulum, yakni dengan menambahkan antibiotik penisillin sebanyak 10.000
IU dan larutan streptomisin sebanyak 10.000 µg untuk setiap 1ml larutan Hank’s
2. Siapkan
tabung reaksi steril sebanyak 10 buah, beri nomor 1 s/d 10
3. Pipet
larutan inokulum masing-masing 1.8ml dari tabung 1 s/d 10
4. Pipet
0.2 ml vaksin virus aktif Lasota, masukkan pada tabung pertama
5. Lakukan
homogenisasi dengan menggunakan alat mixer
6. Dengan
menggunakan pipet 1ml pindahkan 0.2 ml dari tabung pertama ke tabung kedua (
ikuti metode nomor 5)
7. Pindahkan
0.2 ml dari tabung kedua ke tabung ketiga. Lakukan hal yang sama sampai tabung
nomor 9. Tabung nomor 10 adalah kontrol. Terjadi pengenceran kelipatan 10,
dapat dituliskan berturut-turut dari tabung pertama pengenceran sebagai berikut
: 10-1 , 10-2 , 10-3 , 10-4 ,dst
8. Siapkan
telur embryo tertunas untuk inokulasi
9. Lakukan
penyuntikan ke dalam cairan alantoik dengan dosis 0.1 ml ke dalam masing-masing
telur, sebanyak 5 butir telur, dimulai dari pengenceran 10-9 , 10-8,
sampai pengenceran 10-4
10. Telur
kemudian dieramkan dalam incubator dengan temperature 370 C. Lakukan
pengamatan setiap hari sampai hari keempat. Pada hari kelima semua telur
dimasukkan ke dalam lemari es 40C agar embrio mati.
11. Lakukan
uji aglutinasi cepat dari cairan alantois setiap telur pada gelas objek. Catat
dan hitung hasilnya.
Gambar 12:
Skema kerja penentuan EID50
Perhitungan Dengan
Menggunakan Persamaan Garis
Log
10
|
Hasil
Individu
|
Hasil
Kumulatif
|
Rasio
Persentase
|
||||
Positif
|
Negatif
|
Negatif
|
Positif
|
Total
|
Positif
|
Persen
|
|
-4
|
5
|
0
|
9
|
0
|
21
|
21/21
|
100
|
-5
|
5
|
0
|
4
|
2
|
16
|
16/16
|
100
|
-6
|
5
|
0
|
1
|
6
|
11
|
11/11
|
100
|
-7
|
4
|
1
|
0
|
11
|
7
|
6/7
|
86
|
-8
|
2
|
3
|
0
|
16
|
6
|
2/6
|
33
|
-9
|
0
|
5
|
0
|
21
|
9
|
0/9
|
0
|
Tabel
2. Contoh perhitungan EID50 menggunakan persamaan
garis
y= a+bx
y= % terinfeksi
x= log konsentrasi
y= 319,5 + 35,3 x ; r=0,979
50 = 319,5 + 35,3 x
x= -7,64
Log konsentrasi = -7,64
Maka, EID50 = 107,64 EID50
/ 0,2 ml atau 5x107,64 EID50 / ml
2.2.3.2
Tissue
Culture Infectious Dose ( TCID 50 )
Cara Kerja
Isolasi
Virus Poliomielitis
1/10
suspensi feses dicampur dengan BSS dengan pengaduk gelas sampai potongan kecil
larut
↓
Sentrifugasi
3000 rpm selama 15-20 menit
Ambil
supernatan jernih bebas bakteri (
tambahkan antibiotik )
↓
Masukkan
150.000 sel ( HeLa atau ginjal monyet ) / 1ml media ke dalam botol roux
↓
Inkubasi
370 C selama 1 jam
↓
Media
dipindahkan dan diganti dengan media yang baru
↓
Inkubasi
370 C selama 1 jam
↓
Diamati
perubahan sitopatogenik ( bentuk, warna, ukuran, pertumbuhan, dll )
Titrasi
Virus
↓
masing-masing
konsentrasi virus dimasukkan pada 12 tabung roux, kemudian masing-masing
ditambahkan 150.000 sel
↓
Inkubasi 370 C selama 1 jam
↓
Media
dikeluarkan dari sel dan masukkan media baru
↓
Inkubasi 370
C selama beberapa hari
↓
Kultur diperiksa
setelah beberapa hari apakah terjadi infeksi (dilihat dari perubahan
sitopatogeniknya)
↓
TCID 50 terletak pada konsentrasi
kultur yang setengahnya terinfeksi virus
Perhitungan Dengan
Menggunakan Persamaan Garis
Log
konsentrasi
|
Pengenceran
|
Kultur
terinfeksi
|
Kultur tidak
terinfeksi
|
Jumlah
terinfeksi
|
Jumlah tidak
terinfeksi
|
Fraksi
terinfeksi
|
%
terinfeksi
|
-5
|
105
|
12
|
0
|
48
|
0
|
48/48
|
100
|
-6
|
106
|
12
|
0
|
36
|
0
|
36/36
|
100
|
-7
|
107
|
10
|
2
|
24
|
2
|
24/26
|
92,5
|
-8
|
108
|
8
|
4
|
14
|
6
|
14/20
|
70
|
-9
|
109
|
4
|
8
|
6
|
14
|
6/20
|
30
|
-10
|
1010
|
2
|
10
|
2
|
24
|
2/26
|
7,69
|
-11
|
1011
|
0
|
12
|
0
|
36
|
0/36
|
0
|
Tabel
3: Contoh perhitungan TCID 50 menggunakan persamaan
garis
Didapatkan persamaan
garis y= 242,96 + 22,69 x
TCID 50
yaitu 50% yang terinfeksi , jadi y=50, maka x= -8,5
TCID 50 =
108,5 TCID 50 / 0,1 ml = 109,5 TCID 50
/ ml
2.2.3.3 Cell Culture
Infectious Dose ( CCID50 )
Cara Kerja
↓
Masing-masing
konsentrasi virus dimasukkan pada 12 sumuran, ng-masing ditambahkan 100.000
sel ( tiap konsentrasi memiliki 2 buah
kontrol )
↓
Inkubasi
370 C selama 1 jam
↓
Media
dikeluarkan dari sel dan masukkan media baru
↓
Inkubasi
370 C selama beberapa hari
↓
Kultur
diperiksa setelah beberapa hari apakah terjadi infeksi (dilihat dari perubahan
sitopatogeniknya)
↓
CCID50
terletak pada konsentrasi kultur yang setengahnya terinfeksi virus
Perhitungan Dengan
Menggunakan Persamaan Garis
Log
Konsentrasi
(x)
|
Pengenceran
|
Hasil Individu
|
Hasil Kumulatif
|
Rasio
Persentase
|
||||
positif
|
negatif
|
positif
|
negatif
|
total
|
positif
|
Persen
(y)
|
||
-3
|
103
|
10
|
0
|
38
|
0
|
38
|
38/38
|
100
|
-4
|
104
|
9
|
1
|
28
|
1
|
29
|
28/29
|
96,5
|
-5
|
105
|
8
|
2
|
19
|
3
|
22
|
19/22
|
86,4
|
-6
|
106
|
7
|
3
|
11
|
6
|
17
|
11/17
|
64,7
|
-7
|
107
|
4
|
6
|
4
|
12
|
16
|
4/16
|
25
|
-8
|
108
|
0
|
10
|
0
|
22
|
22
|
0/22
|
0
|
x= log konsentrasi
y= % terinfeksi
Persamaan garis: y=177,78 + 21,03 x ; r=
0,95
CCID50 =
terinfeksi 50% à
y=50
50 = 177,78 + 21,03 x
x = -6,07
CCID50 =
106,07 CCID50 / 0,1 ml = 107,07 CCID50
/ ml
2.2.3.4
Protection
Dose ( PD50 )
Penetapan nilai PD50 dapat
digunakan untuk menetapkan potensi dari suatu vaksin yang dibuat. Prosedur yang
dilakukan pada uji PD50 memiliki kemiripan dalam hal prinsip dengan
penetapan angka KHM ( Kadar Hambat Minimum) suatu antibiotik. Dalam hal ini, PD50 digunakan
sebagai nilai pada pengenceran berapa suatu vaksin dapat menghambat pertumbuhan
dari virus.
1. Namun
ada hal yang menyeba
2. Vaksin untuk flu burung ini perlu diuji kontrol demi
keamanan penderitanya, diantara terdiri dari uji haemoglutin dan uji serologi.
3. Uji Haemoglutin terdiri dari penentuan EID50,
Uji Keamanan, Uji Immunogenitas, Uji Patogenitas virus, Uji myloplasma, Uji
Salmonella, tes inaktivasi, deteksi residu formalin, uji sterilitas, dan uji
stabilitas. Sedangkan Uji serologi terdiri dari Uji HI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar