Empat
Spesies Malaria
Parasit malaria
baru dapat dikenali oleh Charles Louis Alphonse Laveran tahun 1880. Dokter
bedah dari Perancis itu menemukan bentuk pisang, yang sekarang dikenal sebagai
bentuk gametosit dari P.falciparum, dalam darah penderita malaria di
bawah lensa mikroskop. Parasit malaria digolongkan dalam genus Plasmodium dan
mempunyai 4 spesies yaitu P. falciparum, P. vivax, P. malaria,
dan P. ovale.
Dari keempat spesies itu, P.
falciparium paling ditakuti karena menjadi penyebab sebagian besar kematian
akibat malaria. Hal itu dikarenakan eritrosit yang terinfeksi oleh P.
falciparum akan berikatan dengan endotel pembuluh darah. Ikatan itu
membentuk gumpalan (sludge) yang dapat menghambat aliran darah ke
beberapa organ termasuk organ vital seperti otak, jantung, hati dan ginjal.
Selanjutnya, organ-organ tersebut akan mengalami anoksia dan edema.
Di sisi lain, P. vivax dan P.
malariae adalah spesies yang dapat menyebabkan relaps dan rekrudesensi.
Rekrudesensi adalah berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8
minggu sesudah berakhirnya serangan primer. Rekrudesensi dapat terjadi sesudah
periode laten dari serangan primer. Relaps dinyatakan sebagai berulangnya
gejala klinik setelah periode yang lama dari masa laten, sampai 5 tahun. Hal
itu disebabkan kedua spesies itu mempunyai bentuk hipnozoit yang dapat bertahan
dalam hati cukup lama, dalam hitungan bulan bahkan tahun.
Patogenesis
Patogenesis malaria berat
dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu pejamu (host), agen (agent), dan
lingkungan (environment).
Dari sisi agen, parasit malaria,
protein Pf EMP-1 (Plasmodium falciparum erythrocyte membrane protein-1)
diduga berperan penting dalam patogenesis malaria. Protein tersebut
diekspresikan pada eritrosit yang terinfeksi parasit. Protein ini berperan
dalam proses cytoadherens yaitu sekuestrasi di mikrosirkulasi, rosseting,
dan aggregasi eritrosit terinfeksi dengan trombosit. Proses-proses tersebut
mengakibatkan obstruksi mikrosirkulasi yang kemudian mengakibatkan gangguan
fungsi organ.
Dari sisi pejamu, yang berperan
dalam patogenesis adalah sitokin pro-inflamasi (TNF-α dan IFN-α). Sitokin itu
secara tidak langsung menghambat perkembangan parasit. Akan tetapi, tingginya
sitokin dalam suatu organ akan mengganggu fungsi organ tersebut, baik secara langsung
maupun tidak langsung dengan cara meningkatkan ekspresi dari molekul adhesi
sehingga memacu proses cytoadherens sepertiyang telah dijelaskan
sebelumnya.
Trias Malaria
Masa inkubasi malaria berkisar
antara 9- 30 hari. Gejala kliniknya dikenal sebagai trias malaria yang terdiri
dari demam, anemia dan splenomegali. Demam khas pada malaria adalah menggigil
selama 15-60 menit karena pecahnya skizon eritrosit, lalu demam selama 2-6 jam
kemudian berkeringat selama 2-4 jam. Keringat yang dihasilkan dapat sangat
banyak hingga membasahi tempat tidur. Setelah berkeringat biasanya penderita
justru akan merasa lebih enakan tapi lemas. Gejala ini terus berulang
dengan periode tertentu sesuai dengan jenis plasmodiumnya. Di daerah endemis,
gejala khas ini seringkali tidak ditemukan karena sebagian besar sudah memiliki
imunitas di dalam tubuhnya. Gejala klinik mungkin didahului dengan sakit
kepala, lemah, nyeri otot dan nyeri tulang.
Dalam melakukan anamnesis terhadap
seorang penderita yang diduga malaria, selain menanyakan pola demam tersebut,
jangan lupa pula menanyakan riwayat bepergian ke daerah endemis, pernah sakit
malaria, dan riwayat transfusi darah.
Darah Tepi & Deteksi Antigen
Ada 2 cara diagnostik yang
diperlukan untuk mengatakan seseorang itu positif malaria atau tidak yaitu
pemeriksaan darah tepi (tipis/tebal) dan deteksi antigen. Darah tepi menjadi
pemeriksaan terpenting yang tidak boleh dilupakan meskipun pemeriksaannya
sangat sederhana. Interpretasi yang didapat dari darah tepi adalah jenis dan
kepadatan parasit.
Deteksi antigen digunakan apabila
tidak tersedia mikroskop untuk memeriksa preparat darah tepi dan pada keadaan
emergensi yang perlu diagnosis segera. Teknik yang digunakan untuk deteksi
antigen adalah immunokromatografi dengan kertas dip stick. Beberapa kit
antigen yang sudah tersedia di pasaran saat ini antara lain antigen histidine
rich protein-2 (HRP-2), yang dihasilkan dari tropozoit dan gametosit
muda P. falciparum; antigen parasit lactate dehidrogenase (p-LDH)
yang dihasilkan dari bentuk aseksual atau seksual keempat Plasmodium; dan
antigen pan-malarial keempat Plasmodium.
Khasiat dari Pohon Qinghousu
Resisten obat anti malaria yang
telah beredar, menuntut obat baru untuk mengatasi resistensi. Alhasil,
ditemukanlah artemisinin! Perihal obat ini pun seperti dipaparkan, Prof DR dr
Inge Sutanto SpPar dalam Temu Ilmiah dan Konas I Parasitologi Klinik di
Jakarta 2004, berasal dari ekstrak daun dan bunga pohon Qinghousu (Artemisia
annua). Pohon itu tumbuh di Cina dan Vietnam utara. Tak heran bila ada
pepatah yang mengatakan belajarlah hingga ke negeri Cina, sebab pada
kenyataannya pohon ini sudah digunakan oleh bangsa Cina sebagai obat malaria
sejak tahun 1972! Bahkan sudah 2000 tahun digunakan sebagai obat penurun demam
(antipiretik). Artemisinin terdiri atas bentuk artemisinin, Natrium-artesunat,
aretmeter, arteeter, dan dihidroartemisinin.
Keunggulan dari artemisinin, jelas
Prof. Inge, antara lain cepat menghilangkan gejala klinis, cepat mengeliminasi
parasit dalam darah, belum ada laporan resistensi, dan mampu menurunkan
transmisi malaria di daerah endemis karena artemsinin bersifat gametosidal.
Artemisinin menghilangkan
parasitemia dalam waktu singkat yaitu 48 jam. Kelemahannya adalah waktu
paruhnya yang pendek, sekitar 2-3 jam. Oleh karena itu, artemisinin harus
diberikan 7 hari berturut-turut. Bila pengobatan dilakukan kurang dari 5 hari,
jelas mantan Kepala Bagian Departemen Parasitologi FKUI/RSCM ini, kemungkinan
terjadi relapsnya lebih dari 50%.
Efek samping yang ditimbulkan
artemisinin rendah. Yang pernah dilaporkan adalah pusing, muntah, gatal, demam,
urin berwarna hitam, dan perdarahan. Selain itu, obat ini juga aman dikonsumsi
oleh ibu hamil trimester II dan III tapi kontraindikasi pada trimester I sebab
menurut hasil penelitian dapat mengakibatkan abortus. Bentuk sediaan obat yang
tersedia saat ini adalah oral dan rektal. Bentuk yang terakhir ini sangat
menguntungkan bagi penderita yang mengalami mual dan muntah.
Bagaimana
mekanisme antimalaria pada artemisinin masih belum diketahui pasti. Diduga
jembatan endoperoksida (C-O-O-C) berperan penting dalam mekanisme antimalaria
melalui dua tahap. Tahap pertama adalah aktifasi. Dengan melibatkan besi,
jembatan endoperoksida akan terurai menjadi radikal bebas dan radikal
elektrofilik lainnya. Tahap kedua adalah alkilasi. Pada tahap ini terjadi
pembentukan ikatan kovalen antara obat dengan protein parasit. Radikal bebas
akan merusak enzim yang merubah hemoglobin menjadi hemeazoin, sehingga akan
terjadi penumpukan radikal bebas yang akan merusak sel parasit. Alkilasi juga
berperan dalam merusak protein sel. Akan tetapi tampaknya, penumpukan radikal
adalah sebab utama kematian parasit.(Lihat Gambar 1)
Pada awalnya, artemisinin
dikhawatirkan akan mengalami metabolisme lintas pertama jika digunakan dengan
cara oral. Hal in memacu pembuatan derivat artemisinin untuk penggunaan
parenteral (artemeter dan artesunat). Kemudian baru diketahui bahwa artemisinin
dan derivatnya dapat digunakan secara oral tanpa mengalami pengurangan kadar
yang besar setelah mengalami metabolisme lintas pertama. Semua derivat
artemisinin akan diubah menjadi dihidro-artemisinin di dalam tubuh.
Farmakokinetik artemisinin dan
derivatnya tergantung pada senyawa dan cara pemberian. Pemberian intravena
(bolus) natrium artesunat, misalnya, sangat cepat mencapai kadar puncaknya dan
cepat dimetabolisme menjadi dihidro-artemisinin. Waktu paruh dihidro-artemisnin
sekitar 45 menit.(Lihat Tabel 1)
Tabel 1. Perbandingan beberapa
sediaan artemisinin dan derivatnya
Obat
|
C max(µmol/L)
|
t max
|
Dosis (mg/ kg BB)
|
Na- Artesunat (IV bolus)
|
60-120
|
Sangat cepat
|
2-3,8
|
Artemeter (IM)
|
0,5-0,8
|
4-9 jam
|
6-10
|
Artemisinin (oral)
|
0,7-0,9
|
4-8 jam
|
5
|
Artemeter (oral)
|
1
|
90-120 menit
|
3
|
Dihidro-artemisinin
|
30 menit
|
||
Artemisinin supositoria
|
0,03
|
6 jam
|
10
|
Inge juga menekankan perlunya terapi
kombinasi antara artemisinin dengan obat antimalaria jenis lain. Seperti halnya
pengobatan pada tuberkulosis, terapi kombinasi ditujukan untuk mencegah
resistensi terhadap artemisinin. Selain itu, artemisinin mempunyai waktu kerja
yang pendek sehingga diharapkan adanya obat antimalaria jenis lain akan
mematikan parasit yang tersisa.
Kombinasi regimen terbaru pengobatan
malaria, berdasarkan konsensus dari Perkumpulan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (The
Indonesian Society of Internal Medicine) seperti dimuat dalam Acta
Medica Indonesiana 2004, antara lain artesunat + amodiaquine, artesunat +
lumefrantine; artesunat + piperquine; dan dihidroartemisinin + piperquine.
Dosis dari obat-obat ini dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Dosis beberapa derivat
artemsinin
Nama Obat
|
Dosis
|
Artesunat
|
5 mg/kgBB hari I dan 2,5 mg/kgBB
hari II-III
|
Artemeter
|
3,2 mg/kgBB hari I dan 1,6 mg/kgBB
hari II-V
|
Dihidroartemisinin
|
2 mg/kgBB, 2x hari I, 1x hari
II-III
|
Meflokuin
|
750 mg-1250 mg dosis tunggal
|
Amodiakuin
|
600 mg hari I, 400 mg hari II-III
|
Piperquine
|
600 mg hari I + 300 mg 6 jam
kemudian, dilanjutkan 600 mg 24 jam kemudian
|
Vaksin
Malaria, Sebuah Impian?
Selain pencarian obat-obat baru,
salah satu cara yang dipikirkan para peneliti untuk memerangi malaria adalah
pembuatan vaksin malaria. Vaksin malaria dirancang berdasarkan siklus hidup
plasmodium sehingga muncullah 3 bentuk vaksin yaitu vaksin pra-eritrositik,
vaksin eritrositik, dan vaksin bentuk seksual. (Lihat Gambar 2 dan 3)
Vaksin
pra-eritrositik adalah vaksin yang mencegah sporozoit memasuki hepatosit,
mencegah pematangan parasit di dalam hepatosit. Kekurangan vaksin ini adalah
memicu timbulnya strain yang resisten terhadap vaksin. Respon imun yang
ditumbulkan oleh vaksin ini berupa pembentukan antibodi yang dapat menghambat
invasi sporozoit ke dalam hepatosit atau membunuh sporozoit melalui opsonisasi
maupun berupa pengaktifan sel limfosit T ataupun secara tidak langsung melalui
sitokin atau antibody dependent cellular cytotoxicity.
Vaksin eritrositik atau vaksin
bentuk aseksual merupakan vaksin yang mudah dikembangkan karena hanya ditujukan
untuk membangkitkan kembali kekebalan yang sudah terjadi secara alamiah.
Prinsipnya hampir sama dengan timbulnya kekebalan pada orang yang sudah tinggal
lama di daerah endemis malaria.
Vaksin bentuk
seksual (transmission blocking vaccine) dirancang untuk menyerang
gametosit baik dalam tubuh pejamu maupun gamet, zigot atau ookinet dalam usus
tengah nyamuk (sesudah pengisapan darah oleh nyamuk). Selain itu, vaksin ini
dapat menghambat eksflagelisasi dan fertilisasi parasit dalam tubuh nyamuk.
Kelemahan dari vaksin ini adalah tidak dapat mencegah seseorang menderita
malaria maupun meringankan gejala malaria yang sudah ada karena vaksin ini
hanya berperan mencegah terjadinya transmisi dari penderita ke orang sehat.
Dari ketiga vaksin tersebut, yang
paling ideal adalah vaksin pra-eritrositik. Salah satu vaksin pra-eritrositik
yang dikembangkan adalah vaksin sporozoit (attenuated sporozoite vaccine).
Vaksin ini mengandung sporozoit dimana gen yang mengatur proses perkembangannya
telah dilemahkan. Gen-gen yang telah dilemahkan adalah gen upregulated in
infective sporozoite (UIS)-3 dan UIS-4. Gen-gen itu merupakan gen yang
spesifik dan berperan pada stadium pra-eritrositik namun tidak diekspresikan
pada stadium eritrositik aseksual.
Dalam tubuh, sporozoit dari vaksin
itu akan berkembangbiak hanya sampai awal stadium hepatosit, tidak menjadi
merozoit ataupun gametosit. Dengan demikian, transmisi dari penderita ke orang
sehat melalui vektor tidak akan terjadi. Mekanisme terjadinya imun akibat
vaksin ini masih harus diteliti lebih lanjut. Masuknya sporozoit ke dalam
hepatosit akan memicu respon imun dari sel T sitotoksik CD8+. Sel T akan
mengenali antigen malaria yang berada di permukaan hepatosit yang terinfeksi.
Selain sel T sitotoksik CD8+, sel T lain juga berperan adalah CD4+ dan sel T
γδ. Masih diragukan apakah vaksin ini akan memberikan kekebalan dalam jangka
waktu lama atau bila dimungkinkan seumur hidup karena pada percobaan tikus,
efek proteksinya hanya bertahan 2 bulan.
Pada prinsipnya, pembuatan vaksin
malaria tergantung dari tujuannya. Misalnya, bila ingin mengurangi gejala
klinis yang sudah ada, digunakanlah vaksin malaria bentuk aseksual. Bila
sifatnya ingin mencegah agar tidak terjadi penyakit, pakailah vaksin
pra-eritrositik dan bila yang diingikan hanya untuk mencegah proses penularan,
pilihannya jatuh pada vaksin bentuk seksual.
Pengembangan vaksin malaria pada
saat ini ditujukan untuk dua kelompok besar. Yang pertama kepada populasi di
daerah endemik malaria, dan yang kedua ditujukan untuk turis dari negara
nonendemik yang berkunjung ke negara endemik. Sebenarnya saat ini malaria pada turis
dapat dicegah dengan pengobatan kemoprofilaksis; namun pertimbangan efek
samping, kepatuhan, kontraindikasi, dan kenyamanan; cukup membuat para turis
dan calon turis mengharapkan alternatif pencegahan malaria yang lebih baik.
Berikut ini adalah beberapa kandidat
vaksin malaria yang pernah diuji.
- Pada tahun 1987 dikembangkan kandidat vaksin SPf66, dengan menggunakan antigen permukaan sporozoit dan merozoit Plasmodium falciparum. Uji klinik terhadap vaksin ini gagal di fase III, di mana efektivitasnya turun dari 75% menjadi 60%.
- CSP adalah vaksin terhadap Plasmodium falciparum yang menggunakan rekombinan terhadap komposisi protein permukaan sporozoit (circumsporozoite protein) yang berikatan dengan toksin Pseudomonas aeruginosa. Uji klinik terhadap vaksin ini gagal di fase I, karena efek protektifnya tidak begitu kuat.
- Vaksin multifase NYVAC-Pf7 yang mengkombinasikan 7 antigen P.falciparum. Vaksin ini mengandung CSP dan PfSSP2 (antigen permukaan sporozoit) yang berfungsi protektif pada fase sporozoit; 4 antigen LSA1 (beberapa di antaranya AMA-1, antigen serin, MSP-1) yang protektif di fase eritrositer; dan 1 antigen fase seksual (Pfs25). Uji klinik terhadap vaksin ini gagal memicu terbentuknya antibodi protektif pada manusia.
- RTS,S merupakan kandidat vaksin rekombinan yang mengandung protein permukaan sporozoit P.falciparum dari fase preeritrositer yang digabungkan dengan antigen permukaan virus hepatitis B; sehingga diharapkan imunogenisitasnya meningkat. Bahan adjuvan yang teruji klinis cukup baik imunogenisitasnya adalah monofosforil A dan QS21 (SBAS2). Hasil uji efektivitas kandidat vaksin ini cukup baik, terutama bagi anak-anak. Efektivitas vaksin pada anak-anak ditemukan sebesar 53% untuk adjuvan AS01E (Bejon et.al; 2008) dan 65.2% untuk adjuvan AS02D (Abdulla et.al; 2008).
- PvRII (Plasmodium vivax region II) merupakan kandidat vaksin yang ditujukan untuk mengikat protein reseptor untuk P.vivax; yaitu antigen Duffy.
- Sanaria PfSPZ adalah kandidat vaksin lainnya yang menggunakan sel utuh Plasmodium falciparum yang dilemahkan sebagai pemicu respons imunitas. Prinsip dasarnya sama dengan metode yang iradiasi nyamuk yang mengandung Plasmodium falciparum untuk melemahkan parasit, yang pernah dikembangkan pada tahun 1970-an.
Tidak mencegah total
Contoh paling baru, adalah pengembangan vaksin malaria di Mozambiq. Memang vaksinnya dapat menurunkan kemungkinan infeksi malaria sebesar 30 persen dalam kurun waktu enam bulan. Tapi tidak dapat mencegah infeksi plasmodium secara total. Kemudian ujicoba vaksinasi terbesar di bulan Oktober 2004, terhadap anak-anak di Afrika menunjukan, dapat dikembangkannya proteksi signifikan terhadap malaria. Selain itu, vaksinasi dapat meringankan gejala penyakit malaria. Akan tetapi, masalah utamanya adalah, vaksin bersangkutan tetap tidak dapat disebut efektif mencegah infeksi malaria.
Melihat kenyataan tsb, para peneliti terus bergiat untuk menemukan vaksin yang benar-benar ampuh. Salah satu terobosan, berhasil dilakukan oleh Dr. Kai Matuschewski dan asistennya, Ann Kristin Mller dari bagian parasitologi rumah sakit Universitas Heidelberg di Jerman. Yakni dengan memanfaatkan teknik rekayasa genetika, menciptakan vaksin malaria yang terbukti efektif. Memang sejauh ini vaksin malaria terbaru tsb belum diujicoba pada manusia. Namun ujicoba pada tikus percobaan di laboratorium menunjukan hasil sangat memuaskan.
Berbeda dengan metode penelitian terdahulu, Matuschewski mencoba mengembangkan vaksin dari Plasmodium hidup yang utuh. Dengan begitu, sistem kekebalan tubuh akan bereaksi dengan kekebalan tubuh yang menyeluruh dan juga ampuh. Untuk mencegah, jangan sampai Plasmodium yang dijadikan vaksin, memicu munculnya gejala penyakit malaria, para peneliti dari Universitas Heidelberg tsb, secara terarah mematikan fungsi gen tertentu. Hal ini hanya dapat dilakukan, dengan prosedur rekayasa genetika yang amat rumit. Dengan metode tsb, plasmodium bersangkutan masih dapat memicu reaksi pertahanan tubuh, tapi tidak menimbulkan gejala sakit malaria.
Melacak gen yang akan dinon-aktifkan
Salah satu langkah rekayasa yang paling rumit, adalah melacak gen tertentu pada Plasmodium yang cocok untuk dimatikan fungsinya. Juga diketahui, pencegahan paling efektif adalah dengan memberikan vaksin malaria dalam stadium Sporozoit. Dalam situasi normal, dalam stadium inilah bibit penyakit malaria, dipindahkan dari inang nyamuk ke dalam tubuh manusia, melalui gigitan nyamuk bersangkutan. Vaksin dari plasmodium utuh tsb, juga harus dapat melakukan fungsinya, menyerang sel-sel hati untuk berkembang biak.
Di sinilah fase paling kritis dari penelitian. Sebab, Plasmodium harus dapat menyerang sel hati, namun pada saat yang tepat, perkembangan selanjutnya yakni serangan ke sel-sel darah merah, harus dicegah. Setelah penelitian bertahun-tahun, ditemukan gen yang disebut UIS-3, yang harus dinon-aktifkan, agar stadium serangan ke sel darah merah dapat dihindarkan.
Ujicoba pada tikus menunjukan, terbentuknya sistem kekebalan tubuh yang menyeluruh dan efektif. Kini langkah selanjutnya masih harus ditempuh. Yakni melakukan ujicoba vaksin terbaru itu pada manusia. Penelitiannya memang akan memakan waktu lama, namun hasilnya diharapkan akan membebaskan ratusan juta manusia, dari sandera penyakit malaria.
Contoh paling baru, adalah pengembangan vaksin malaria di Mozambiq. Memang vaksinnya dapat menurunkan kemungkinan infeksi malaria sebesar 30 persen dalam kurun waktu enam bulan. Tapi tidak dapat mencegah infeksi plasmodium secara total. Kemudian ujicoba vaksinasi terbesar di bulan Oktober 2004, terhadap anak-anak di Afrika menunjukan, dapat dikembangkannya proteksi signifikan terhadap malaria. Selain itu, vaksinasi dapat meringankan gejala penyakit malaria. Akan tetapi, masalah utamanya adalah, vaksin bersangkutan tetap tidak dapat disebut efektif mencegah infeksi malaria.
Melihat kenyataan tsb, para peneliti terus bergiat untuk menemukan vaksin yang benar-benar ampuh. Salah satu terobosan, berhasil dilakukan oleh Dr. Kai Matuschewski dan asistennya, Ann Kristin Mller dari bagian parasitologi rumah sakit Universitas Heidelberg di Jerman. Yakni dengan memanfaatkan teknik rekayasa genetika, menciptakan vaksin malaria yang terbukti efektif. Memang sejauh ini vaksin malaria terbaru tsb belum diujicoba pada manusia. Namun ujicoba pada tikus percobaan di laboratorium menunjukan hasil sangat memuaskan.
Berbeda dengan metode penelitian terdahulu, Matuschewski mencoba mengembangkan vaksin dari Plasmodium hidup yang utuh. Dengan begitu, sistem kekebalan tubuh akan bereaksi dengan kekebalan tubuh yang menyeluruh dan juga ampuh. Untuk mencegah, jangan sampai Plasmodium yang dijadikan vaksin, memicu munculnya gejala penyakit malaria, para peneliti dari Universitas Heidelberg tsb, secara terarah mematikan fungsi gen tertentu. Hal ini hanya dapat dilakukan, dengan prosedur rekayasa genetika yang amat rumit. Dengan metode tsb, plasmodium bersangkutan masih dapat memicu reaksi pertahanan tubuh, tapi tidak menimbulkan gejala sakit malaria.
Melacak gen yang akan dinon-aktifkan
Salah satu langkah rekayasa yang paling rumit, adalah melacak gen tertentu pada Plasmodium yang cocok untuk dimatikan fungsinya. Juga diketahui, pencegahan paling efektif adalah dengan memberikan vaksin malaria dalam stadium Sporozoit. Dalam situasi normal, dalam stadium inilah bibit penyakit malaria, dipindahkan dari inang nyamuk ke dalam tubuh manusia, melalui gigitan nyamuk bersangkutan. Vaksin dari plasmodium utuh tsb, juga harus dapat melakukan fungsinya, menyerang sel-sel hati untuk berkembang biak.
Di sinilah fase paling kritis dari penelitian. Sebab, Plasmodium harus dapat menyerang sel hati, namun pada saat yang tepat, perkembangan selanjutnya yakni serangan ke sel-sel darah merah, harus dicegah. Setelah penelitian bertahun-tahun, ditemukan gen yang disebut UIS-3, yang harus dinon-aktifkan, agar stadium serangan ke sel darah merah dapat dihindarkan.
Ujicoba pada tikus menunjukan, terbentuknya sistem kekebalan tubuh yang menyeluruh dan efektif. Kini langkah selanjutnya masih harus ditempuh. Yakni melakukan ujicoba vaksin terbaru itu pada manusia. Penelitiannya memang akan memakan waktu lama, namun hasilnya diharapkan akan membebaskan ratusan juta manusia, dari sandera penyakit malaria.
Hasil ini bisa dikatakan cukup menggembirakan. Namun beberapa ilmuwan tetap percaya bahwa tetap diperlukan vaksin yang lebih efektif untuk melawan penyakit ini. Salah satu caranya adalah dengan mengeksploitasi kelemahan dalam siklus hidup parasit.
Sebuah tim di Institut Sanger pada November 2011 menemukan bahwa reseptor tunggal pada permukaan sel darah merah dan substansi yang dikenal sebagai "PfRh5" pada parasit adalah bagian penting dalam keberhasilan parasit malaria menyerang sel-sel darah.
Sementara cara untuk melawan parasit malaria ini adalah dengan memberikan vaksin yang melawan protein. Hal ini setidaknya berlaku kepada hewan. Demikian menurut dokter Sandy Douglas dari Universitas Oxford dalam jurnal Nature Communications.
Studinya ini merupakan tahap awal. Ia dan tim peneliti Oxford berhasil dalam menemukan cara membuat antibodi yang membunuh semua parasit malaria pada hewan. “Langkah berikutnya adalah melakukan uji klinis pada manusia,” ujarnya.
Tim Oxford juga mengatakan, jika keselamatan tes vaksin terbukti berhasil, uji klinis pada pasien malaria bisa dilakukan dalam dua sampai tiga tahun ke depan.
Menurut World Malaria Report 2010, malaria telah membunuh sekitar 781.000 orang pada 2009, terutama anak-anak dan wanita hamil. Plasmodium falciparum adalah bentuk parasit yang paling mematikan dan bertanggung jawab untuk sembilan dari 10 kematian akibat malaria. Vaksinasi terhadap malaria dianggap cara terbaik untuk melindungi populasi terhadap penyakit. Namun sementara ini belum tersedia vaksin berlisensi untuk melawan penyakit ini.
Virus influenza
Saat
ini hanya vaksin virus influenza inaktif parenteral yang dibuat di embrio ayam
yang dilisensi di AS. Karena perubahan virus influenza yang beredar setiap
tahun (antigenic drift), maka proteksi pada kelompok risiko tinggi memerlukan vaksinasi
setiap tahun (1,4). Virus
memiliki dua tipe varian antigenik yaitu drift
dan shift. Antigenic drift dapat ditemukan pada kedua virus A dan
B,
walaupun pada virus B kejadiannya berlangsung kurang cepat. Drift menyebabkan
variasi genetik minor yang disebabkan oleh mutasi titik gene haemaglutinin dan
neuraminidase. Berbagai strain
drifted mempunyai subtipe H dan N yang sama, tetapi
berbeda pada permukaan glikoproteinnya, hal ini menyebabkan manusia dapat
terinfeksi lebih dari sekali. Epidemi flu tahunan terjadi karena lemahnya
proteksi terhadap berbagai strain
drifted. Akibat adanya antigenic drift ini
maka komponen vaksin influensa perlu diperbaiki secara berkala(4). Live
attenuated influenza vaccine sedang
diusulkan untuk disetujui oleh FDA AS, mengandung recombinant coldadapted strain of influenza A and B
intranasal spray. Vaksin ini telah diuji coba pada anak
kecil dan orangtua. Pada anak seronegatif usia lebih dari 15 bulan, respon
antibodi terhadap komponen influenza A dan B setelah pemberian vaksin dosis
tunggal efikasinya mencapai 93%. Penggunaan live
attenuated trivalent
vaccine pada dewasa secara signifikan mengurangi
kejadian sakit, kunjungan ke tenaga kesehatan, dan kehilangan hari kerja(5,6)
Obat bekerja dengan cara yang unik,
efektif menutup pintu molekul yang memungkinkan organismenya menyerang sel-sel
darah merah. Pasalnya, kemampuan parasit untuk menghindari sistem kekebalan
tubuh dengan cepat berkembang menjadi strain baru.
Penelitian ini diterbitkan dalam jurnal Nature Communications.
Dr Simon Draper, seorang ilmuwan dari Institut Jenner di Oxford University mengatakan, "Sejauh ini kami telah mampu memusnahkan setiap strain. Kami mampu menghasilkannya di laboratorium. Itulah mengapa hasilnya sangat menarik. Biasanya vaksin tak bekerja dengan baik karena parasit berkembang menjadi strain baru - sistem kekebalan tubuh jadi tak mengenali. Jadi, jika vaksin tersebut sangat efektif pada manusia, seperti yang kami harapkan, itu bisa menjadi kontributor serius untuk program pemberantasan."
Sejauh ini vaksin, yang dikenal sebagai PfRH5, telah diuji di laboratorium dan pada kelinci. Vaksin dikembangkan dari penelitian yang dilaporkan bulan lalu dalam jurnal Nature.
Para ilmuwan Wellcome Trust Sanger Institute, Hinxton, Cambridge menunjukkan bahwa parasit P. falciparum pembunuh bergantung pada molekul tertentu, RH5 untuk mendapatkan akses ke sel-sel darah merah.
Protein RH5 kait ke molekul tertentu reseptor pada permukaan sel darah yang memiliki efek membuka pintu gerbang untuk parasit. Vaksin baru menginduksi respon kekebalan terhadap RH5 untuk menghentikan mengubah kunci dan menjaga menutup pintu.
Hebatnya, orang yang secara alami terkena malaria berkali-kali memiliki tingkat rendah atau tidak terdeteksi antibodi yang melawan RH5. Untuk alasan ini, para ilmuwan percaya, parasit tak berada di bawah tekanan mengembangkan strain yang menghindari RH5 antibodi.
"Ini sedikit misteri. Ada 5.000 protein dalam parasit malaria, tetapi sistem kekebalan yang biasanya mengabaikan RH5. Selama beberapa dekade, banyak orang telah melihat bagaimana orang mengembangkan kekebalan alami untuk malaria dan mengatakan bahwa kami harus mendasarkan vaksinnya," ujar Dr Simon.
Satu-satunya vaksin malaria lainnya pada stadium lanjut, mengembagkan target parasit dalam hati. Meskipun sedang menjalani uji klinis, hanya 30 persen sampai 50 persen efektif.
Dr Simon dan timnya, sekarang segera mencari dana untuk kemajuan uji percobaan pasien dengan vaksinnya. Dengan sekitar £1 juta, uji klinis bisa dimulai dalam waktu dua tahun.
Sejauh ini, vaksin disuntikkan menggunakan modifikasi virus berbahaya. Setelah uji coba keselamatan awal yang melibatkan sukarelawan sehat di Inggris, uji klinis akan berlangsung di Afrika
Penelitian ini diterbitkan dalam jurnal Nature Communications.
Dr Simon Draper, seorang ilmuwan dari Institut Jenner di Oxford University mengatakan, "Sejauh ini kami telah mampu memusnahkan setiap strain. Kami mampu menghasilkannya di laboratorium. Itulah mengapa hasilnya sangat menarik. Biasanya vaksin tak bekerja dengan baik karena parasit berkembang menjadi strain baru - sistem kekebalan tubuh jadi tak mengenali. Jadi, jika vaksin tersebut sangat efektif pada manusia, seperti yang kami harapkan, itu bisa menjadi kontributor serius untuk program pemberantasan."
Sejauh ini vaksin, yang dikenal sebagai PfRH5, telah diuji di laboratorium dan pada kelinci. Vaksin dikembangkan dari penelitian yang dilaporkan bulan lalu dalam jurnal Nature.
Para ilmuwan Wellcome Trust Sanger Institute, Hinxton, Cambridge menunjukkan bahwa parasit P. falciparum pembunuh bergantung pada molekul tertentu, RH5 untuk mendapatkan akses ke sel-sel darah merah.
Protein RH5 kait ke molekul tertentu reseptor pada permukaan sel darah yang memiliki efek membuka pintu gerbang untuk parasit. Vaksin baru menginduksi respon kekebalan terhadap RH5 untuk menghentikan mengubah kunci dan menjaga menutup pintu.
Hebatnya, orang yang secara alami terkena malaria berkali-kali memiliki tingkat rendah atau tidak terdeteksi antibodi yang melawan RH5. Untuk alasan ini, para ilmuwan percaya, parasit tak berada di bawah tekanan mengembangkan strain yang menghindari RH5 antibodi.
"Ini sedikit misteri. Ada 5.000 protein dalam parasit malaria, tetapi sistem kekebalan yang biasanya mengabaikan RH5. Selama beberapa dekade, banyak orang telah melihat bagaimana orang mengembangkan kekebalan alami untuk malaria dan mengatakan bahwa kami harus mendasarkan vaksinnya," ujar Dr Simon.
Satu-satunya vaksin malaria lainnya pada stadium lanjut, mengembagkan target parasit dalam hati. Meskipun sedang menjalani uji klinis, hanya 30 persen sampai 50 persen efektif.
Dr Simon dan timnya, sekarang segera mencari dana untuk kemajuan uji percobaan pasien dengan vaksinnya. Dengan sekitar £1 juta, uji klinis bisa dimulai dalam waktu dua tahun.
Sejauh ini, vaksin disuntikkan menggunakan modifikasi virus berbahaya. Setelah uji coba keselamatan awal yang melibatkan sukarelawan sehat di Inggris, uji klinis akan berlangsung di Afrika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar